Paruh pertama abad ke-19 di Kepulauan Hindia merupakan masa transisi kekuasaan dari Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) ke Pemerintahan Hindia Belanda setelah perusahaan tersebut bangkrut. Pada masa ini, tepatnya pada tahun 1825 meletuslah perang terbesar di Hindia Belanda saat itu. Perang tersebut dikenal sebagai Perang Jawa atau (De Java Oorlog) atau Perang Diponegoro (1825-1830). Perang tersebut melibatkan pasukan pemerintah Hindia Belanda melawan Pangeran Diponegoro (1785-1855) bersama laskarnya. Perang ini dikenal sebagai Perang Jawa dikarenakan cakupan wilayah medan perangnya meliputi Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur
Pengeran Diponegoro yang merupakan pangeran di Kesultanan Yogyakarta telah muak dengan campur tangan Belanda dalam urusan pemerintahan Keraton. Selain itu, kondisi masyarakat yang mayoritas petani saat itu kondisinya menydihkan karena sistem penyewaan tanah yang merugikan masyarakat. Kemarahan Pangeran Diponegoro memuncak ketika Patih Danureja memasang tonggak-tonggak untuk pembuatan rel kereta api yang melewati makam leluhurnya. Karena kekecewaan dan kemarahan yang sudah terakumulasi tersebut membuat Pangeran Diponegoro menghimpun pasukannya dari berbagai kalangan seperti ulama, santri, petani, dan lain-lainnya untuk melawan Belanda.
Dalam perang ini, Belanda dibantu oleh Kesultanan yang membentuk pasukan gabungan Jawa-Belanda untuk menghadapi laskar Diponegoro. Perang dimulai ketika kediaman Pangeran Diponegoro di kepung oleh pasukan gabungan Jawa-Belanda pada 25 Juli 1825 di Tegalrejo. Pangeran dan laskarnya berhasil meloloskan diri dengan menjebol tembok pekaranan kediamannya. Jalannya perang kemudian semakin rumit dan sulit bagi Belanda dan Keraton, setelah Laskar Dioonegoro berhasil menduduki Keraton Yogyakarta dan daerah-daerah lainnya. Perang memuncak pada tahun 1827 ketika Belanda mengerahkan 27.000 serdadu untuk melawan pasukan Diponegoro.
Pasukan Diponegoro yang menerapkan sistem perang gerilya mampu menyulitkan pasukan Belanda. Tetapi, dalam perkembangan jalannya perang, pasukan Belanda yang menggunakan sistem benteng mulai berhasil menguasai keadaan, terbukti dengan keberhasilan menangkap Kiyai Mojo, Pangeran Mangkubumi, Alibasah Sentot Prawirodirjo yang menyerahkan diri. Perang kemudian berakhir dengan penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Belanda pada 28 Maret 1830, setelah Jenderal Hendrik Markus de Kock menjebaknya dengan tabiat mengadakan pertemuan ramah tamah hari lebaran.
Pangeran Diponegoro yang datang dari Metesih, Magelang ketempat penjamuan di rumah Residen Kedu di Jawa Tengah, telah dipersipakan sebagai tempat penangkapan oleh Jenderal de Kock. Ia telah mempersiap siagakan pasukannya disana. Sempat terjadi pembicaraan antara kedua belah pihak. De Kock mengatakan bahwa ia harus menahannya di situ untuk menyelesaikan kekacauan yang terjadi. Pangeran tentunya merasa marah dan berkata bahwa de Kock jahat. Tetapi, Pangeran Diponegoro terpaksa harus menahan diri demi citra pangeran yang melekat padanya. Oleh karena itu, Pangeran pasrah dengan penangkapan tersebut. Pangeran kemudian dinaikkan ke kereta kuda untuk dikirim ke tanah pengasingan.